Teori Perkembangan Anak –
Erickson dan Gardner
Pendapat Piaget dan
Vigotsky ini perlu diakomodasi untuk saling melengkapi. Rancangan kegiatan
perlu dibagi dimana ada saat anak diberi kesempatan menemukan dan membangun
pemahamannya (discovery learning), tetapi guru tetap harus berperan memperluas
dan meningkatkan efektifitas belajarnya dengan bantuan arahan yang tepat
(scaffolding) sehingga anak dapat meningkatkan ZPD untuk menjadi daerah
kemampuan aktualnya. Selain itu perlunya menunggu kesiapan anak dari Piaget dan
pemberian bantuan dari orang dewasa untuk meningkatkan kemampuan anak jangan
dipandang sebagai sesuatu yang kontradiktif, tetapi dipahami sebagai batasan
dalam menetapkan kriteria Developmentally
Appropriate Practice.
Pendidik perlu meneliti sejauh mana kompetensi dasar usia tertentu, sekaligus
mencoba meningkatkan kemampuannya dengan tetap memperhatikan kondisi psikologi
anak dan tanpa mematikan anak untuk mencintai belajar.
Pakar Psikologi
Perkembangan Erikson memfokuskan pada perkembangan psikososial sejak kecil
hingga dewasa dalam delapan tahap. Setiap orang akan melewati tahapan dan
setiap tahapan akan mendapatkan pengalaman positif dan negatif. Kepribadian
yang sehat akan diperoleh apabila seseorang dapat melewati krisis dalam tugas
perkembangan dengan baik. Bagi anak usia dini, autonomy v.s. doubt (1-3
tahun).Bayi memerlukan pengasuhan yang penuh cinta kasih sehingga ia merasa
yang aman baginya. Ketidak konsistenan dan penolakan pada masa bayi akan
menimbulkan ketidak percayaan pada pengasuhnya berlanjut pada orang lain dan
lingkungan yang lebih luas.Pada masa usia dini banyak hal yang menarik dia
sehingga akan menjadikan dia ingin selalu mencoba terkadang berbahaya. Pada
tahap ini orang dewasa harus memberikan dukungannya dan Erikson mengingatkan
pembatasan dan kritik yang berlebihan akan menyebabkan tumbuh rasa ragu
terhadap kemampuan dirinya. Penelitian tentang kecerdasan lebih jauh lagi
diungkapkan Gardner yang dikenal konsep kecerdasan Jamak atau Multiple
Intelegence (MI) ia mengidentifikasikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk
menemukan dan mencari pemecahan masalah serta membentuk suatu produk yang
mempunyai nilai dipandang dari budaya seseorang. Ketujuh kecerdasantersebut
adalah : Linguistik, logika, matematika, spasial, kinestetik, musik,
intrapersonal, interpersonal serta naturalis. Setiap orang mempunyai berbagai
potensi tersebut dan masing-masing dapat dikembangkan ke tahap tertentu. Dalam
mendesain kurikulum konsep Piaget, Vigotsky, Erikson dan Gardner sangat
bermanfaat sebagai arahan dalam menyusun kurikulum yang sesuai dengan tahap
perkembangan dan minat individu. Erikson menyoroti aspek psikososial yang dialami
masa anak-anak serta bagaimana pendidik dapat membantu anak melewati masa
tersebut untuk menjadi mandiri. Piaget dengan konsep tahapan perkembangan
berfikir memberikan pedoman Dalam menyusun pembelajaran yangsesuaiusia,
sementaraVigotsky mengemukakan tentang pentingnya interaksi sosial dalam
menstimulus berbagai aspek perkembangan.
Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru
dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang
sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh
manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak
digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan
tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat
berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan
egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran
dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa
Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori
Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena
dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang
sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah
sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental
Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep
dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson,
dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan
dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak
dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini
dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti
bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi
matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan
dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan
genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga
dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan
sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Delapan Tahapan
Perkembangan Anak Menurut Erik Erikson
Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs
Kecurigaan)
Masa bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust-mistrust.
Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai
orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi
orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu
kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia
bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda
asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali
bayi menangis.
Tahap ini berlangsung pada masa
oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani
pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus
menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan
terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya
untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu,
serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada
tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan
perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa
memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi
mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia
khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa
orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi.
Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh
ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui
pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri
dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan
mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya
dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu
tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa
hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari
kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan
lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang
lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa
peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena
orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya
kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah
penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai
pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan
memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini.
Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal
terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan
yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah
kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis,
maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat
menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan
kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi
dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan
baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus
percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan
maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap
saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan
antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat
mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam
diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau
segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih
dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia
senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu
(ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di
mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat
(numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami
kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa
numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang
menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan,
penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam
hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan
merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang
lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan
dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat
diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau
sebaliknya anak akan memuja orang lain.
Autonomy vs Shame and doubt (Otonomi vs Perasaan Malu
dan Ragu-ragu)
Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya
kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas
tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan,
bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di
pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat,
sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular
stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia
18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini
adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan
ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya
terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu
kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap
salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu.
Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan
anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang
menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya,
anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan.
Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya,
sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap
pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang
dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk
menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan,
memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat
menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang
gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah
karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak
sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu
mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata
lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang
seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya
yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar
adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri
dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan
memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya
perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut
Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya
apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak
baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut
Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu
menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka
lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila
tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu
kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan
rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya terdapat
keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan
atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa
“kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan
kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu
dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak
sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan
mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai
sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan
maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain
dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan
merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol
mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas
kasih.
Initiative vs Guilt (Inisiatif vs Kesalahan)
Masa pra sekolah (Preschool Age)
ditandai adanya kecenderungan initiative-guilty. Pada masa ini anak telah
memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong
melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih
terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut
menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak
mau berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan
sebagai tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa
disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak
menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang
anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak
terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang
anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta
mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan
sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata
menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan
cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi,
semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami
hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi
dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa
bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa
yang mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness)
merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki
sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki
sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai
suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli
terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan
siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu.
Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah
yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu
akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu
sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa,
sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu
kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara
keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial
adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini
adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami
sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai
fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan
impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh
seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain
kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian,
kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai
keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
Industry
vs Inferiority (Kerajinan vs Inferioritas)
Masa Sekolah (School Age)
ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari
perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa
saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap
lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena
keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia
menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa
rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang
terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah
adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan
rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah
luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek
memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi
perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya
pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi
semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus
dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini
dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di
sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat
mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses
karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga
dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun
guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada
usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada
umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama
teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan
orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka. Kecenderungan maladaptif akan
tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana
peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain
jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi
yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred
Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian
tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan
mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap
sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan
begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap
pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola
perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan
mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode
yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat
kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal dengan istilah formal.
Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan
mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk
memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya
sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan
relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal
dengan istilah formalism.
Identity
vs Identify confusion (Identitas vs Kekacauan Identitas)
Tahap kelima merupakan tahap
adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18
atau 20 tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity
– Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh
kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk
dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan
membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali
sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh
lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan
identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan
dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya
mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap
peran yang diberikan kepada masing-masing anggota
Pencapaian identitas pribadi dan
menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam
tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan
penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego,
dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan
bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap
ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan
masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini,
kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka
segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial
secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan
mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya
bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa
mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi
karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan
kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti
kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap
pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu,
salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya
berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak
tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah
pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion
atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika
kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas,
maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang
bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan
sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa
pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan
identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut
malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini
mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya
mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari
kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima
dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi
nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego
dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan
memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang
berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan
ketidakkonsistennya.
Ritualisasi yang nampak dalam
tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
Intimacy
vs Isolation (Keintiman vs Isolasi)
Tahap pertama hingga tahap kelima
sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada
masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young
adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa
sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun
pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif,
dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham.
Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan
orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson
adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari
sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan
orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan
mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman
dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang
terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh
yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas,
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa
tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat,
tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara
dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu
kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta,
persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam
sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan
antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh
nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan
untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling
membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan
dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan
lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada
tahan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu
sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang
dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan
sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
Generativity
vs Stagnation (Generativitas vs Stagnasi)
Masa dewasa (dewasa tengah) berada
pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30
sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan
generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini
individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya.
Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan
individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas,
tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan,
sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia
mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai
dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini
dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna
keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak
berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan.
Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui
generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman
ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri
sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak
perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan
menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk
mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana
seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat
dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat
sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada
masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna
mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi
dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu
interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara
orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan
otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih
berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang
ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa
dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
Integrity
vs Depair (Integritas vs Putus Asa)
Tahap terakhir dalam teorinya
Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia
sekitar 60 atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya
kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki
kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah
menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan
oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan
atau tujuan yang akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit
sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus
asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan
karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan
acapkali menghantuinya
Dalam teori Erikson, orang yang
sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap
sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan
berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang
sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah
merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja
dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan
tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling
tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri
yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup
itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka
tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan
terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan
kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson
berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan
di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan
dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap
menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumpah serapah dan menyesali
kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan
kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu
sikap kebijaksanaan.


0 komentar:
Post a Comment