Masalah Pendidikan di
Indonesia
|
Peran Pendidikan
dalam Pembangunan
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya. Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Pemerintah dan
Solusi Permasalahan Pendidikan
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten. Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global. Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim. Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan
Pendidikan yang Berkualitas
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi dan
Swastanisasi Sektor Pendidikan
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005). Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin. Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi. Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.*** |
- Masalah-Masalah Pokok Pendidikan di Indonesia
Pembangunan
pendidikan yang sudah dilaksanakan sejak Indonesia merdeka telah memberikan
hasil yang cukup mengagumkan sehingga secara umum kualitas sumberdaya manusia
Indonesia jauh lebih baik. Namun dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, kita
masih ketinggallan jauh, oleh karena itu, upaya yang lebih aktif perlu
ditingkatkan agar bangsa kita tidak menjadi tamu terasing di Negri
sendiri terutama karena terjajah oleh budaya asing dan terpaksa menari diatas
irama gendang irang lain. Upaya untuk membangun sumber daya manusia yang
berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya bukanlah
suatu pekerjaan yang relatif ringan. Hal ini di sebabkan dunia pendidikan kita
masih menghadapi berbagai masalah internal yang cukup mendasar dan bersifat
kompleks. Kita masih menghadapi sejumlah masalah yang sifatnya berantai
sejak jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Rendahnya kualitas
pada jenjang sekolah dasar sangat penting untuk segera diatasi karena sangat
berpengaruh terhadap pendidikan selanjutnya, ada beberapa masalah internal
pendidikan yang dihadapi, antara lain sebagai berikut.
- Rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity) disertai banyaknya peserta didik yang putus sekolah, serta banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini identik dengan ciri-ciri kemiskinan.
- Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam (IPA), matematika, serta bahasa terutama bahasa inggris padahal penguasaan materi tersebut merupakan kunci dalam menguasai dan mengembangkan iptek.
- Rendahnya efisiensi internal karena lamanya masa studi melampaui waktu standart yang sudah ditentukan.
- Rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan yang disebut dengan relevansi pendidikan, yang menyebabkan terjadinya pengangguran tenaga terdidik yang cenderung terus meningkat. Secara empiris kecenderungan meningkatnya pengangguran tenaga terdidik disebabkan oleh perkembangan dunia usaha yang masih di dominasi oleh pengusaha besar yang jumlahnya terbatas dan sangat mengutamakan efisiensi (padat modal dan padat teknologi). Dengan demikian pertambahan kebutuhan akan tenaga kerja jauh lebuh kecil dibandingkan pertambahan jumlah lulusan lembaga pendidikan.
- Terjadi kecenderungan menurunnya akhlak dan moral yang menyebabkan lunturnya tanggung jawab dan kesetiakawanan sosial, seperti terjadinya tawuran pelajar dan kenakalan remaja. Dalam hal ini pendidikan agama menjadi sangat penting menjadi landasan akhlak dan moral serta budi pekerti yang luhur perlu diberikan kepada peserta didik sejak dini. Dengan demikian, hal itu akan menjadi landasan yang kuat bagi kekokohan moral dan etika setelah terjun ke masyarakat. Masalah-masalah diatas erat kaitanya dengan kendala seperti keadaan geografis, demografis, serta sosio-ekonomi besarnya jumlah penduduk yang tersebar diseluruh wilayah geografis Indinesia cukup luas. Kemiskinan juga merupakan salah satu kendala yang memiliki hubungan erat dengan masalah pendidikan. Rendahnya mutu kinerja sistem pendidikan tidak hanya disebabkan oleh adanya kelemahan menejemen pendidikan tingkat mikro lembaga pendidikan, tetapi karena juga menejemen pendidikan pada tingkat makro seperti rendahnya efisiensi dan efektivitas pengolahan sistem pendidikan. Sistem dan dan tata kehidupan masyarakat tidak kondusif yang turut menentukan rendahnya mutu sistem pendidikan disekolah yang ada gilirannya menyebabkan rendahnya mutu peserta didik dan lulusannya. Kebijaksanaan dan progran yang ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas, harus di rumuskan secara spesifik karena fenomena dan penyebab timbulnya masalah juga berbeda-beda di seluruh wilayah Indonesia.
- Sistem pendidikan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat sebagai supra sistem. Pembanguana sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak singkron dengan pembanguanan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan sistem sosial budaya sebagai supra sistem tersebut, dimana sistem pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya suatu permasalahan intern dalam sistem pendidikan selalu ada kaitan dengan masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat disekitarnya, dari mana murid-murid sekolah tersebut berasal, serta masih banyak lagi faktor-faktor lainnya diluar sistem persekolahan yang berkaitan dengan mutu hasil belajar tersebut.
Berdasarkan
kenyataan tersebut maka penanggulangan masalah pendidikan juga sangat kompleks,
menyangkut banyak komponen dan melibatkan banyak pihak.
Pada
dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air
kita dewasa ini, yaitui:
- Bagaimana semua warga Negara dapat menikmati kesempatan pendidikan.
- Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun kedalam kancah kehidupan bermasyarakat.
Yang
pertama mengenai masalah pemerataan, dan yang kedua adalah masalah mutu,
relevansi, dan juga efisiensi pendidikan.
Seperti telah dikemukakan diatas, pada bagian
ini akan dibahas empat masalah pokok pendidikan yang telah menjadi kesempatan
nasional yang perlu diprioritaskan penanggulangannya. Masalah yang dimaksud
adalah:
- 1. Masalah Pemerataan Pendidikan
Dalam
melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk memanjakan bangsa dan kebudayaan
nasional, pendidikan nasional diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.
Masalah
pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaiman sistem pendidikan dapat
menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk
memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembanguana
sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan.
Masalah
pemerataan pendidikan timbul apabila masih banyak warga Negara khususnya anak
usia sekolah yang tidak dapat di tampung dalam sistem atau lembaga pendidikan
karena kurangnya fasilita pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, di tanah
air kita Undang-Undang No 4 tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah. Pada bab XI pasal 17 berbunyi:
Tiap-tiap warga Negara republik Indonesia mempunyai
hak yang sama diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang
ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaarn pada sekolah itu dipenuhi.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib
belajar Bab VI pasal 10 ayat 1 menyatakan: ”semua anak yang berumur 6 tahun
berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya
6 tahun “ ayat 2 menyatakan: “belajar di sekolah agama yang telah mendapat
pengakuan dari menteri agama yang dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Landasan
yuridis pemerataan pendidika tersebut penting sekali artinya, sebagai landasan
pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar ketinggalan kita sebagai
akibat penjajahan.
Masalah
pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting sebab jika anak-anak usia
sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar
berupa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat
mengikuti perkembangan kemajauan melalui berbagai media massa dan sumber
belajar yang tersedia baik mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun
konsumen. Dengan demikian mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat
pembangunan.
Oleh
karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan
pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpatisipasi dalam
pembangunan, maka setelah upaya pemerataan pendidikan terpenuhi, mulai
diperhatikan juga upaya pemerataan mutu pendidikan. Hal ini akan dibicarakan
pada butir tentang masalah mutu pendidikan.
Khusus
pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang berjenjang dan tiap-tiap
jenjang memiliki fungsinya masing-masing maupun kebijaksanaan memperoleh
kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan
faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif serta relevansi yang selalu ditentukan
proyeksinya secara terus menerus dengan saksama.
Pada
jenjang pendidikan dasar, kebijaksanaan penyediaan memperoleh kesempatan
pendidikan didasarkan atas pertimbangan faktor kuantitatif, karena kepada
seluruh warga Negara perlu di berikan bekal dasar yang sama. Pada jenjang
pendidikan menengah dan terutama pada jenjang pendidikan yang tinggi, kebijakan
pemertaan didasarkan atas pertimbangan kualitatif dan relevansi, yaitu
minat dan kemampuan anak, keperluan, tenaga kerja, dan keperluan pengembangan
masyarakat, kebudayaan, ilmu, dan tekonologi. Agar tercapai
keseimbangan antara faktor minat dengan kesempatan memperoleh pendidikan, perlu
diadakan penerangan yang seluas-luasnya mengenai bidang-bidang pekerjaan dan
keahlian dan persyaratannya yang dibutuhkan dalam pembangunan utamanya bagi
bidang-bidang yang baru dan langka.
Perkembangan
upaya pemerataan pendidikan berlangsung terus menerus dari pelita ke
pelita. Didalam Undang-Undang No.2 tahun 1989 tengtang sistem pendidikan
nasional III tentang hak warga Negara untuk memperoleh pendidikan, pasal 5
menyatakan: ”setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan”. Bahkan dalam pasal 7 mengenai hak telah di tegaskan sebagai
berikut: “penerimaan seorang peserta didik dalam suatu satuan pendidikan
diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras,
kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan
kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Perkembangan
iptek menawarkan beraneka ragam alternatif model pendidikan yang dapat
memperluas pelayanan kesempatan belajar. Dilihat dari segi waktu belajarnya
bervariasi dari beberapa jam, hari, minggu, bulan, sampai tahunan, melalui
proses tatap muka sampai pada lingkungan alam yang dapat mendung.[5]
- 2. Masalah Mutu Pendidikan
Mutu
pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti
yang diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga
penghasil sebagai produsen tenagan terhadap calon luaran, dengan sistem
sertifikasi. Selanjutnya jika luaran tesebut terjun kelapangan kerja penilaian
dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk
kerja. Lazimnya masih dilakukan pelatihan dan pemagangan bagi calon untuk
penyesuaian dengan tuntutan persyaratan kerja dilapangan, dan berkarya.
Jadi
mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluaranya. Jika tujuan
pendidikan nasioanl dijadikan kriteria, maka pertanyaanya adalah: apakah
keluaran dari sistem pendidikan menjadikan pribadi yang bertakwa, mandiri,
anggota masyarakat yang sosial yang bertanggung jawab. Dengan kata lain
keluaran ini mewujudkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Kualitas luaran seperti tersebut
adalah nurturant effect. Meskipun disadari bahwa hakikatnya produk dengan
ciri-ciri seperti itu tidak semata-mata hasil dari sistem pendidikan itu
sendiri. Yang menjadi persoalan ialah bahwa cara pengukuran mutu produk
tersebut tidak mudah. Dan pada umumnya hanya dengan mengasosiasikan dengan
hasil belajar yang sering dikenal dengan EBTA atau hasil sipenmaru.
Padahal
hasil belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang
bermutu. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya
hasil belajar yang bermutu. Jika tidak terjadi belajar secara optimal akan
menghasilkan skor hasil ujian yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa
hasil belajar tersebut adalah semu. Berarti pokok permasalahan mutu pendidikan
lebih terletah pada masalah pemprosesan pendidikan. Selanjutnya kelancara
pemprosesan pendidikan ditunjang oleh komponen pendidikan yang terdiri dari
peserta didik, tenaga kependidikan, kurikulum, sarana pembelajaran, dan juga
masyarakat sekitar.
Masalah
mutu pendidikan juga mencakup masalah pemerataan mutu, didalam Tap MPR RI
tentang GBHN dinyatakan bahwa titik berat pembanguan pendidikan diletakkan pada
peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan, dan dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan khususnya untuk memacu untuk penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan pengajaran
ilmu pengetahuan alam dan matematika. Umumnya pendidikan di seluruh tanah air
pada umumnya menunjukkan daerah pedesaan lebih rendah dari daerah perkotaan.
- 3. Masalah Efisiensi Pendidikan
Pada
hakikatnya masalah efisiensi adalah masalah pengelolaan pendidikan, terutama
dalam pemanfaatan dana dan sumber daya manusia.
Efesiensi
artinya dengan menggunakan tenaga dan biaya sekecil-kecilnya dapat diperoleh
hasil yang sebesar-besarnya. Jadi, sistem pendidikan yang efesien ialah dengan
tenaga dan dana yang terbatas dapat di hasilkan sejumlah besar lulusan yang
berkualitas tinggi. Oleh sebab itu, keterpaduan pengelolaan pendidikan harus
tampak diantara semua unsur dan unit, baik antar sekolah negeri maupun swasta,
pendidikan sekolah maupun luar sekolah, antara lembaga dan unit jajaran depertemen
pendidikan dan kebudayaan.
Para
ahli banyak mengatakan bahwa sistem pendidiakn sekarang ini masih kurang
efisien. Hal ini tampak dari banyaknya anak yang drop-out, banyak anak yang belum dapat pelayanan pendidikan,
banyak anak yang tinggal kelas, dan kurang dapat pelayanan yang semestinya bagi
anak-anak yang lemah maupun yang luar biasa cerdas dan genius.
Oleh
karena itu, harus berusaha untuk menemukan cara agar pelaksanaan pendidikan
menjadi efisien.[7]
Masalah
efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikn
mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika
penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi.
Beberapa
masalah efisiensi pendidikan yang penting adalah:
a)
Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan
b)
Bagaimana prasarana dan sarana pendidikan digunakan
c)
Bagaimana pendidikan diselenggarakan
d)
Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga.
Masalah
ini meliputi pengangkatan, penempatan, dan pengembanagan tenaga kependidikan.
Masalah pengangkatan terletak pada kesenjanagn antara stok tenaga yang tesedia
dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Pada masa 5 tahun terakgir ini
jatah pengangkatan setiap tahunnya hanya sekitar 20 % dari kebutuhan tenaga
lapangan. Sedangkan persediaan tenaga siap di angkat lebih bear daripada
kbutuhan di lapangan. Dengan demikian berarti lebih dari 80% tenaga yang
tersedia tidak segera difungsikan. Ini terjadi kemubadziran yang terselubung,
karena biaya investasi pengadaan tenaga tidak segera terbayar kembali melalui
pengabdian. Dan tenaga kependidikan khususnya guru tidak disiapkan untk
berwirausaha.
Masalah
penempatan guru, khususnya guru bidang penempatan studi, sering mengalami
kepincanagn, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Suatu sekolah
menerima guru baru dalam bidang studi yang sudah cukup atau bahkan sudah
kelebihan, sedang guru bidang studi yang dibutuhkan tidak diberikan karena
terbatasnya jatah pengangkatan sehingga di tempatkan didaerah sekolah-sekolah
tertentu seorang guru bidang studi harus merangkap mengajarkan bidang studi
diluar kewenangannya, meskipun persediaan tenaga yang direncanakan secara makro
telah mencukupi kebutuhan, namun mengalami masalah penempatan karena
terbatasnya jumlah yang dapat diangkat dan sulitnya menjaring tenaga kerja yang
tesedia didaerah terpencil.
Masalah
pengembanagan tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya
pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum
menuntut adanya penyesuaian dari para pelaksana lapangan. Dapat dikatakan
umumnya penanganan pengembanagn tenaga pelaksana di lapangan sangat lambat.
Padahal proses pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru sangat
memakan waktu. Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat di rencanakan
berlakunya kurikulum dengan saat mulai dilaksanakan.dan pendidikan berlangsung
kurang efisien dan efektif
- 4. Masalah Relevansi Pendidikan
Maslah
relevensi adalah masalah yang timbul karena tidak sesuainya sistem pendidikan
dengan pembangunan nasional setara kebutuhan perorangan, keluarga, dan
masyarakat, baik dalam jangka pendek, maupun dalam jangka panjang.
Pendidikan
merupakan faktor penunjang bagi pembangunan ketahanan nasional. Oleh sebab itu,
perlu keterpaduan di dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dengan
pembangunan nasional tersebut. Sebagai contoh pendidikan di sekolah harus di
rencanakan berdasarkan kebutuhan nyata dalam gerak pembangunan nasional, serta
memperhatikan ciri-ciri ketenagaan yang di perlukan sesuai dengan keadaan
lingkungan di wilayah-wilayah lingkungan tertentu.[9]
Telah
dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa tugas pendidikan ialah menyiapkan sumber
daya manusia untuk pembangunan. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan
dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu
masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan
nasional.
Luaran
pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka
ragam seperti sektor produksi, sektor jasa. Baik dari segi jumlah maupun dari
segi kualitas. Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi
semua sektor pembangunan baik yang aktual maupun yang potensial dengan memenuhi
kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan
dianggap tinggi.
Sebenarnya
kriteria relevansi seperti yang dinyatakan tersebut cukup ideal jika
dikaitkan dengan kondisi sistem pendidikan pada umumnya dan gambaran tentang
pekerjaan yang ada antara lain sebagai berikut:
a)
Status lembaga pendidikan sendiri masih bermacam-macam kualitasnya.
b)
Sistem pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran siap pakai. Yang ada ialah
siap kembang.
c)
Peta kebutuhan tenaga kerja dengan persyaratannya yang dapat digunakan sebagai
pedoman oleh lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya tidak
tersedia.
Dari
keempat macam masalah pendidikan tersebut masing-masing dikatakan teratasi jika
pendidikan:
a)
Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar, artinya semua warga Negara
yang butuh pendidikan dapat ditampung daalm suatu satuan pendidikan.
b)
Dapat mencapai hasil yang bermutu artinya: perencanaan, pemprosesan pendidikan
dapat mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
c)
Dapat terlaksana secara efisien artinya: pemrosesan pendidikan sesuai dengan
rancangan dan tujuan yang ditulis dalam rancangan.
d)
Produknya yang bermutu tersebut relevan, artinya: hasil pendiidkan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan.
Pada
dasarnya pembangunan dibidang pendidikan tentu menginginkan tercapainya
pemerataan pendidikan dan pendidikan yang bermutu sekaligus. Ada dua faktor
yang dapat dikemukakan sebagai penyebab mengapa pendidikan yang bermutu belum
dapat diusahakan pada saat demikian, yaitu:
Pertama: gerakan perluasan pendidikan untuk melayani
pemerataan kesempatan pendidikan bagi rakyat banyak memerlukan penghimpunan dan
pengerahan dana dan daya.
Kedua: kondisi satuan-satuan pendidikan pada saat
demikian mempersulit upaya peningkatan mutu karena jumlah murid dalam kelas
terlalu banyak, pengerahan tenaga pendidik yang kurang kompeten, kurikulum yang
belum mantap, sarana yang tidak memadai.
Meskipun
demikian pemerataan pendidiakn tidak dapat diabaikan karena upaya tersebut,
terutama pada saat suatu bangsa sedang memulai membangun mempunyai tujuan
ganda, yaitu disamping tujuan politis juga tujuan pembanguan yaitu memberikan
bekal dasar kepada warga Negara agar dapat menerima informasi dan memiliki
pengetahuan dasar untuk mengembangkan diri sehingga dapat perpatisipasi dalam
pembanguanan.
Dalam
uraian tersebut tampak bahwa masalah pemerataan berkaitan erat dengan masalah
mutu pendidikan.
Bertolak
dari gambaran tersebut terlihat juga kaitannya dengan masalah efisiensi. Karena
kondisi pelaksanaan pendidikan tidak sempurna, maka dengan sendirinya
pelaksanaan pendidikan dan khususnya proses pembelajaran berlangsung tidak
efisien. Hasil pendidikan belum dapat diharapkan relevan dengan kebutuhan
masyarakat pembangunan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
- 3. Solusi Pemecahan Problematika Pendidikan di Indonesia
- 1. Solusi Masalah Pemerataan Pendidikan
Banyak
macam pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah
untuk meningkatkan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
langkah-langkah ditempuh melalui cara konvesional dan cara inovatif.
Cara
konvesional antara lain:
a)
Membangun gedung sekolah seperti SD inpres dan atau ruangan belajar.
b)
Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan
sore).
Sehubungan
dengan itu yang perlu digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah
membangkitkan kemauan belajar bagi masyarakat yang kurang mampu agar mau
menyekolahkan anaknya.
Cara
Inovatif antara lain:
Sistem
pamong (pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru) atau inpact sistem,
sistem tersebut dirintis di solo dan didiseminasikan ke beberapa provinsi.
a)
SD kecil pada daerah terpencil
b)
Sistem guru kunjung
c)
SMP terbuka
d)
Kejar paket A dan b
e)
Belajar jarak jauh, seperti di universitas terbuka.
- 2. Solusi Masalah Mutu, Efisiensi dan Relevansi Pendidikan
Meskipun
untuk tiap-tiap jenis dan jenjang pendidikan masing-masing memiliki kekhususan,
namun pada dasarnya pemecahan masalah mutu pendiidkan bersasaran pada
perbaikkan kualitas komponen pendidikan serta mobilitas komponen-komponen
tersebut. Upaya tersebut pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas
proses pendidikan dan pengalaman belajar peserta didik, dan menghasilkan hasil pendidikan.
Upaya
pemecahan masalah masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal
yang bersifat sebagai fisik dan lunak, personalia, dan manajemen. Sebagai
berikut:
a)
Seleksi yanglebih rasional terhadap masukan mentah, khususnay untuk Slta dan
PT.
b)
Pengembanagn kemanpuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut.
c)
Penyempurnaaan kurikulum
d)
Pengembanagan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk belajar
e)
Penyempurnaan sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran
f)
Peniungkatan adminisrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran
g)
Kegiatan pengendalian mutu.
- 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Berkembangnya Masalah Pendidikan
Permasalahan
pokok pendidikan sebagaimana telah diutarakan diatas merupakan masalah
pembangunan mikro, yaitu masalah-masalah yang berlangsung di dalam sistem
pendidikan sendiri. Masalah mikro tersebut berkaitan dengan masalah makro
pembangunan, yaitu masalah di luar sistem pendidikan, sehingga harus
diperhitungkan dalam memecahkan masalah mikro pendidikan. Masalah makro ini
meliputi masalah perkembangan internasional, masalah demografi, masalah
politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta masalah perkembangan regional.
Masalah-masalah makro yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
berkembangnya masalah pendidikan, yaitu:
- 1. Perkembangan Iptek Dan Seni
- Perkembangan Iptek
Terdapat
hubungan yang erat antara pendidikan dan iptek (ilmu pengetahuan dan
teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan
terorganisasi mengenai alam semesta , dan teknologi adalah penerapan yang
direncanakan dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Sebagai contoh hubungan antara pendidikan dan iptek, misalnya sering suatu
teknologi baru yang digunakan suatu proses produksi menimbulkan kondisi ekonomi
sosial baru lantaran perubahan persyaratan kerj, dan mungkin juga penguraian
jumlahtenaga kerja atau jam kerja, kebutuhan bahan-bahan baru, sistem pelayanan
baru, sampai pada berkembangnya gaya hidup baru, kondisi tersebut minimal bisa
mempengaruhi perubahan isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan
baru tunjangan pendidikan, otomatis juga sarana sarana penunjangnya seperti
sarana laboratorium dan ketenangan. Semua perubahan tersebut tentu juga membaw
masalah dalam skala nasional yang tidak sedikit memakan biaya. Contoh di atas
memberikan gambaran pengaruh tidak langsung iptek terhadap sistem pendidikan.
Di samping pengaruh tidak langsung juga banyak pengaruh yang langsung dalam
sistem pendidikan dalam bentuk berbagai macam inovasi atau pembaruan dengan
aksentuasi tujuan yang bermacam-macam pula. Ada yang bertujuan untuk mengatasi
kekurangan guru dan gedung sekolah seperti sistem Pamong dan SMP terbuka,
pengadaan guru relatif cepat seperti dengan program diploma, perlindungan
terhadap profesi guru seperti program akta mengajar. Hampir setiap inovasi
mengundang masalah. Pertama, karena
belum ada jaminan bahwa inovasi itu pasti membawa hasil. Kedua, pada dasarnya orang
merasa ragu dan gusar jika menghadapi hal baru. Masalahnya ialah bagaimana cara
memperkenalkan suatu inovasi agar orang menerimanya. Setiap inovasi mengandung
dua aspek yaitu aspek konsepsional (memuat ide, cita-cita, dan prinsip-prinsip)
dan aspek struktur operasional (teknik pelaksanaannya).
- Perkembangan Seni
Kesenian
merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang
menghasilkan sesuatu yamg indah. Melalui kesenian manusia dapat menyalurkan
dorongan berkreasi (mencipta) yang bersifat orisinil (bukan tiruan) dan
dorongan spontanitas dalam menemukan keindahan. Dilihat dari segi tujuan
pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas kesenian mempunyai
andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan dominan afektif khususnya
emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan disamping domain kognitif
yang sudah digarap melalui program /bidang studi yang lain. Dilihat dari segi
lapangan kerja, dewasa ini dunia seni dengan segenap cabangnya telah mengalami
perkembangan pesat dan semakin mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat.[14]
- 2. Laju Pertumbuhan Penduduk.
Masalah
kependudukan dan kependidikan bersumber pada 2 hal, yaitu:
- Pertambahan Penduduk.
Dengan
bertambahnya jumlah penduduk maka penyediaan prasarana dan sarana pendidikan
beserta komponen penunjang terselenggaranya pendidikan harus di tambah. Dan ini
berarti beban pembangunan nasional menjadi bertambah.
Pertumbuhan
penduduk yang dibarengi dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka
kematian, mengakibatkan berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi
penduduk usia sekolah dasar menurun, sedangkan proporsi penduduk usia sekolah
lanjutan, angkatan kerja, dan penduduk usia tua meningkat berkat kemajuan
bidang gizi dan kesehatan. Dengan demikian terjadi pergesaran permintaan akan
fasilitas pendidikan, yaitu untuk sekolah lanjutan cenderung lebih meningkat
dibanding dengan permintaan akan fasilitas sekolah dasar. Sebagai akibat
lanjutan, permintaan untuk lanjutan keperguruan tinggi juga meningkat, khusus
untuk penduduk usia tua yang jumlahnya meningkat perlu disediakan pendidikan
non formal.
- Penyebaran Penduduk
Penyebaran
penduduk diseluruh pelosok tanah air tidak merata. Ada daerah yang padat
penduduk, terutama di kota-kota besar dan daerah yang penduduknya jarang yaitu
daerah pedalaman khususnya di daerah terpencil yangberlokasi di pegunungan dan
di pulau-pulau. Sebaran penduduk seperti digambarkan itu menimbulkan kesulitan
dalam penyediaan sarana pendidikan. Sebagai contoh adalah dibangunya SD kecil
untuk melayani kebutuhan akan pendidikan di daerah terpencil pada pelita V, di
samping SD yang reguler. Belum lagi kesulitan dalam hal penyediaan dan
penempatan guru
- 3. Aspirasi Masyarakat
Dalam
dua dasa warsa terakhir ini aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat,
khususnya aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi
terhadap pekerjaan, kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap
pendidikan. Pendidikan dianggap memberi jaminan bagi peningkatan taraf hidup
dan pendakian ditangga sosial. Gejala yang timbul ialah membanjirnya
pelamar pada sekolah-sekolah. Arus pelajar menjadi meningkat. Di kota-kota , di
samping pendidikan formal mulai bermunculan beraneka ragam pendidikan
nonformal. Beberapa hal yang tidak dikehendaki antara lain ialah seleksi
penerimaan siswa pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan menjadi kurang
objektif, jumlah murid dan siswa perkelas melebihi yang semestinya, jumlah
kelas setiap sekolah membengkak , diadakannya kesempatan belajar bergilir pagi
dan sore dengan pengurangan jam belajar, kurang sarana belajar, kekurangan
guru, dan seterusnya. Keterbelakangan budaya adalah istilah yang diberikan oleh
sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat
lain pendukung suatu budaya . bagi masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya
pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan baik.[16]
- 4. Keterbelakangan Budaya Dan Sarana Kehidupan.
Keterbelakangan
budaya adalah istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang
menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya.
Bagi masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu
yang bernilai dan baik. Sesungguhnya tidak ada kebudayaan yang secara mutlak
statis, apalagi mandeg, tidak mengalami perubahan. Sekurang-kurangnya bagian
unsur-unsurnya yang berubah jika tidak seluruhnya secara utuh. Perubahan
kebudayaan terjadi karena ada penemuan baru dari luar maupun dari dalam
lingkungan masyarakat sendiri. Kebudayaan baru itu baik bersifat material
seoerti peralatan-peralatan pertanian, rumah tangga, transportasi,
telekomunikasi, dan yang bersifat non matreial seperti paham atau konsep baru
tentang keluarga berencana, budaya menabung, penghargaan terhadap waktu, dan
lain-lain. Keterbelakangan budaya terjadi karena:
a)
Letak geografis tempat tinggal suatu masyarakat (misal terpencil)
b)
Penolakan masyarakat terhadap datangnya unsur budata baru karena tidak dipahami
atau karena dikhawatirkan akan merusak sendik masyarakat.
c)
Ketidakmampuan masyarakat secara ekonomis menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Sehubungan
dengan faktor penyebab terjadinya keterbelakangan budaya umumnya dialami oleh:
a)
Masyarakat daerah terpencil.
b)
Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.
c)
Masyarakat yang kurang terdidik.
Yang
menjadi masalah ialah bahwa kelompok masyarakat yang terbelakang budayanya
tidak ikut berperan serta dalam pembangunanmsebab mereka kurang memiliki
dorongan untuk maju. Jadi inti permasalahannya ialah menyadarkan mereka akan
ketertinggalannya, dan bagaimana cara menyediakan sarana kehidupan, dan
bagaimana sistem pendidikan dapat melibatkan mereka. Jika sistem pendidikan
dapat menggapai masyarakat terbelakang kebudayaanya berarti melibatkan mereka
untuk berperan serta dalam pembangunan.


0 komentar:
Post a Comment